Analisa Pemasaran Film Berbiaya
Kecil
By Heryanto, S.Pd
Pemasaran film berbiaya kecil sangat
menarik untuk dianalisa karena ada beberapa starategi yang harus dilakukan
supaya film berbiaya kecil atau bisa disebut juga film independent dapat
menarik banyak penonton seperti pada umumnya terjadi pada film blockbuster yang
berbiaya besar. Analisa ini berdasarkan dari artikel In Blockbuster Season, Smaller Movies Reel in Audiences With yang
diambil dari sumbernya: http://www.marketingpower.com/ResourceLibrary/Documents/newsletters/mne/2010/5/mne_summer_movies_5_6_10.pdf
In Blockbuster Season, Smaller Movies Reel in Audiences With
Savvy Marketing
By Piet Levy, staff writer
Iron Man, Shrek and the A-Team all
are starring in big-budget blockbusters this summer backed by supersized
marketing campaigns, but there’s still room on theater marquees for documentaries,
foreign flicks, and low-budget comedies and dramas, studio execs say. Those titles
just require more creative, targeted and economical marketing strategies to
entice moviegoers—with PR, word of mouth and niche events supplanting big media
buys and lavish press junkets.
“It would seem the summer is a
tough time to release a specialty film. In actuality, it’s a good time,” says
Gary Rubin, president of First Independent Pictures, a Los Angeles-based
specialty film distributor releasing Holy
Rollers,
a drama about a Hasidic Jew who becomes a drug smuggler, this summer. “The fare
released by the major studios over the summer is aimed at such a young
demographic or the films are so lightweight that adults are screaming for
something reasonably intelligent to see.”
A movie’s release and distribution
strategy is, of course, a key marketing decision.
Counterprogramming—or pitting a
romantic comedy’s release against an action-packed
blockbuster, say, to try to draw
different audiences—is a well-established technique for smallerbudget movie
marketers. For example, IFC Films, a New York-based film distributor, is
releasing the documentary Joan
Rivers: A Piece of Work on June 11 as counterprogramming to action fare The A-Team and family flick/remake The Karate Kid, explains Ryan Werner, SVP of marketing and
publicity for IFC Entertainment, IFC Films’ parent company.
Also, while big studios will spend
millions to release movies nationwide and secure high grosses on opening weekend,
specialty studios like Sony Pictures Classics (SPC) in New York typically release
films in New York and Los Angeles and then roll them out into other markets
over several weeks, aiming to build up buzz and profits along the way, explains
Tom Bernard, co-president of SPC and co-leader of its marketing department.
Smaller studios have to be smart about when they release their films to make
sure they have a core audience more or less to themselves. For
instance, SPC is releasing the
drama Mother and Child with Annette
Bening on Mother’s Day weekend, weeks before Sex
and the City 2 opens
and steals away the same adult female demographic, Bernard explains.
Like big studios, specialty
studios will be distributing posters, releasing trailers, buying newspaper ads,
securing talent for interviews and attracting stars to attend their films’
premieres, execs tell Marketing News Exclusives. But small
studios without the luxury of big advertising budgets have to more aggressively
promote their films through events and PR. Amanda Lundberg, a partner who
co-runs the movie marketing department in New York for entertainment PR firm
42West, says smaller studios often open up interview opportunities to alternative
newspapers, magazines and websites—media outlets that bigger studios tend to
skip over.
Smaller studios have to make sure
that their marketing efforts are reaching those audiences who might be
interested in their cinematic fare. IFC, for example, screened the Joan Rivers documentary
at the Miami Gay and Lesbian Film Festival earlier this month to prompt word of
mouth in that community, Werner explains. SPC has targeted fantasy and sci-fi
movie sites like Ain’t It Cool News to promote Micmacs, a fantastical French film out this month. And for Holy Rollers, First
Independent is contacting rabbis and entertainment directors at Jewish organizations
to tell them about the movie, Rubin says.
Through such niche marketing
efforts, smaller movie studios can make the most of their
comparably meager marketing
budgets and earn a spot at multiplexes nationwide. “It’s about getting the
films to the right publications, screening them at the right festival, creating
word of mouth and hoping you will have a film that will deliver the good
reviews,” Werner says.
Marketing
News Exclusives
May 6, 2010
Film
berbiaya kecil mempunyai banyak kendala untuk dipertunjukkan di
bioskop-bioskop. Salah satunya adalah tidak adanya biaya untuk menggandakan
film tersebut untuk diedarkan ke bioskop-bioskop. Oleh karena itu, perlu adanya
strategi pemasaran yang pintar untuk menyiasati bagaimana sebuah film berbiaya
kecil dapat diterima oleh penonton.
Berbeda
dengan film-film berbiaya besar seperti film Iron Man, Shrek dan the
A-Team , film-film berbiaya kecil tidak mengandalkan aktor aktris yang
popular, spesial efek, atau promosi besar-besaran karena tidak adanya biaya
untuk melakukan hal-hal tersebut. Jadi film berbiaya kecil haruslah pintar
untuk menyiasati bagaimana mendapatkan penonton yang banyak dengan strategi
yang tidak mahal.
Dalam
teks ini, akan dibahas bagaimana strategi film-film berbiaya kecil untuk
dipasarkan. Dalam kasus ini akan dianalisa strategi pemasaran tiga film
berbiaya kecil. Film-film tersebut adalah Holy Rollers, Joan Rivers: A Piece
of Work, dan Mother and Child.
Analisa yang disampaikan berupa strategi yang sudah
dilakukan oleh film-film tersebut dalam teks di atas dan juga strategi-strategi
hasil analisa sendiri terhadap film-film yang bersangkutan.
1. Holly Hunters
Menurut keterangan dari
teks, film ini bergenre drama dan dipasarkan pada masa musim panas (summer).
Hal ini disadari pihak marketing film bahwa film ini bertolak belakang dengan
apa yang biasanya ada di film musim panas. Mengapa bertolak bertolak belakang?
Karena film ini bergenre drama, lebih khususnya drama yang serius. Padahal
biasanya musim panas dihadirkan film-film yang menghibur, yang berspesial efek,
dalam teks diistilahkan film-film yang dikhususkan untuk para remaja yang bisa
membuat mereka menjerit. Menjerit di sini bisa diartikan ungkapan kekaguman
akan film-film itu.
Lalu
apa hebatnya film berbiaya kecil ini sehingga berani melawan film-film berbiaya
besar yang biasanya hadir pada pada musim panas? Salah satu jawabannya adalah
karena film ini berbeda. Film Holy Hunters
bisa menjadi tontonan alternatif bagi penonton yang bosan dengan film-film
menghibur tipikal film musim panas. Dengan genre drama yang menitikkan cerita
brilian diharapkan mampu menarik penonton daripada film-film blockbuster yang
sering kali melewatkan akal logika.
Sebagai
suatu produk, Holy Hunters sebenarnya
sasarannya adalah sama dengan film dari studio besar di musim panas yaitu remaja.
Itu bisa dilihat dari jalan ceritanya yang saya sadur dari Wikipedia yaitu bercerita tentang seorang remaja Yahudi yang taat
kemudian terperosok menjadi seorang penjual obat-obatan terlarang akibat
pengaruh teman-temannya. Dengan cerita seperti diharapkan mampu menarik
perhatian remaja yang notabene sedang mencari jati diri. Tapi target film ini
bisa juga untuk para orang tua, guru, ataupun siapa saja yang memperhatikan
kehidupan remaja.
Ditambah lagi film
ini dibintangi aktor yang kualitasnya tidak diragukan lagi, Jesse Eisenberg.
Jesse Eisenberg merupakan actor muda berkaliber Oscar. Lihat saja filmnya yang
fenomenal, Social Network, film drama
serius yang memasukkan film ini untuk nominasi film Oscar terbaik tahun 2010
dan nominasi Aktor Terbaik bagi Jesse Eisenberg. Maka lebih luasnya selain
remaja dan orang tua, film Holy Hunters
akan menarik penonton dari kalangan peminat film berkualitas dari segi cerita
dan aktor.
Membicarakan
mengenai harga ataupun tempat, Holy
Hunters sama seperti film-film lainnya yang bisa ditonton di
bioskop-bioskop dengan harga tiket normal. Film ini bisa jadi sukses tayang di
daerah Amerika Serikat dan Eropa, tapi tidak di Asia, termasuk Indonesia. Hal
itu mengingat tema cerita utamanya tentang remaja Yahudi, sebuah tema yang
tidak populer untuk ditonton di kalangan negara-negara Asia.
Promosi
film ini cukup pintar dengan mendekati rabi-rabi (guru spiritual) kalangan Yahudi untuk berkomentar positif
tentang film ini. Diharapkan para penganut Yahudi akan menoton film ini
berdasarkan rekomendasi rabi-rabi mereka.Tapi kesimpulannya yang menjadi
promosi pintar film ini adalah seperti ditulis diatas adalah melepaskan film
ini di musim panas yang berbeda dengan genre film-film kebanyakan lainnya yang
diedarkan di waktu yang sama dan menempatkan Jesse Eisenberg sebagai aktor
utamanya.
2. Joan Rivers: Piece of A Work
Film
Joan Rivers: Piece of A Work adalah
film dokumenter tentang seorang komedian wanita Amerika bernama Joan Rivers.
Lalu apa menariknya film ini untuk dipasarkan? Sebab film dokumenter jarang ada
yang sukses besar. Film dokumenter bakal sukses apabila menyangkut masalah
global dan dibuat cerdas seperti film Fahrenheit
9/11. Film dokumentar Fahrenheit 9/11
bisa sukses karena temanya yang luar biasa, tentang kebohongan Amerika Serikat
berkaitan kasus fenomenal bom bunuh diri gedung WTC dan invasi ke Irak. Film
ini didukung dengan “aktor aktris” yang luar biasa seperti president USA,
George W Bush dan Britney Spears.
Kembali
ke pertanyaan semula: “Apa menariknya film dokumenter tentang Joan Rivers?”
Jawabannya adalah film dokumenter ini sungguh menghibur. Dokumenter tentang
seorang komedian pastilah menampilkan sisi-sisi menghibur atau lucu dari
seseorang itu sendiri. Dan film Joan Rivers bisa menampilkan hal itu. Bukankah
hampir semua orang pergi ke bioskop untuk terhibur? Itu yang membuat film
dokumenter ini bisa menjadi tontonan yang sukses.
Target
film dokumenter Joan Rivers dipastikan adalah orang-orang Amerika atau bisa
juga Eropa yang cukup umur dan menggemari Joan Rivers. Tidak menutup
kemungkinan film ini ditujukan untuk siapa saja yang butuh hiburan. Sama dengan
film Holy Hunters, film Joan Rivers menarik bagi orang-orang USA dan Eropa tapi
bukan orang Asia karena orang-orang Asia tidak mengenal Joan Rivers.
Untuk
promosi, menurut keterangan dari texts yang didapat, Joan Rivers ditontonkan
pertama kali di Miami Gay and Lesbian
Film Festival. Mengapa film ini ditampilkan pertama kali di sana? Apakah
target utama film ini adalah orang-orang pecinta sejenis, gay dan lesbi? Untuk
hal ini saya tertarik untuk mengetahui siapa itu Joan Rivers. Dari Wikipedia didapat keterangan Joan Rivers
adalah seorang akris komedian yang sering memainkan peran sebagai lesbian dan
sering membawakan lawakan tentang percintaan sejenis ketika ia tampil di
panggung. Maka dari info ini, bisa jadi orang-orang gay dan lesbian jadi
sasaran film dokumenter ini. Dapat disimpulkan bahwa film Joan Rivers
dipasarkan untuk target pecinta sejenis di Amerika dan Eropa.
3. Mother and Child
Film
Mother and Child adalah film drama
dan ceritanya bisa ditebak dari judulnya, hubungan ibu dengan anaknya.
Lagi-lagi dari Wikipedia, saya
memberikan sedikit gambaran cerita film ini. Cerita film ini adalah tentang
seorang remaja perempuan yang melahirkan seorang anak di usia 14 tahun. Tentu
saja remaja perempuan ini belum siap untuk mengurus anaknya tersebut. Cerita
ini bergulir sampai perempuan ini dewasa dan tua. Dapat diterka target utama
film ini adalah wanita-wanita yang mempunyai anak.
Pintarnya
pemasaran film ini adalah film ini dipasarkan pada seminggu seputaran hari Ibu.
Ini sungguh pintar karena pada hari Ibu, ibu-ibu merasa istimewa. Ibu-ibu yang
merasa istimewa dapat menghibur diri mereka sendiri dengan menonton film ini.
Dan lagi film ini cukup jeli dengan menayangkan film ini seminggu sebelum film Sex and City 2.
Dua
film ini, Mother and Child dan Sex and City 2, sama-sama menargetkan
wanita dewasa sebagai penontonnya. Langkah salah apabila Mother and Day ditayangkan sama dengan film Sex and City 2 karena kelihatannya film Sex and City 2 akan menang karena promosi yang besar-besaran.
Dengan diedarkan seminggu sebelum Sex and
City 2, film Mother and Child bisa ditonton sebagai pemanasan menunggu film
Sex and City 2 yang gaungnya lebih
terasa.
Baiklah
setelah mendiskusikan satu persatu pemasaran ketiga film berbudget rendah
tersebut, saya akan memberikan kesimpulan strategi-strategi pemasaran
terhadap film-film berbiaya rendah.
Strategi-strategi
pemasaran terhadap film-film berbudget rendah adalah sebagai berikut:
1.
Lakukan
hal-hal standar yang dilakukan studio besar seperti distribusikan poster,
keluarkan trailer, iklankan di media cetak, wawancara para bintang film, dan
pastikan bintang-bintang film tersebut hadir untuk acara tayangan perdana fim
tersebut.
2.
Harus
Lebih agresif untuk mempromosikan film-film tersebut dalam berbagai acara yang
dihadiri banyak kalangan.
3.
Lakukan
wawancara dengan media-media Koran, majalah, website ataupun lainnya yang
sepertinya studio besar tidak melakukannya di sana.
4.
Pastikan
film yang dihasilkan punya pecinta tema film itu tersendiri. Ini kan
menghasilkan kesan yang positif sehingga orang-orang yang sudah menonton dapat
merekomendasikan film tersebut kepada orang-orang sekitarnya.
5.
Tahu
waktu yang tepat untuk menayangkan film-film tersebut.
6.
Tayangkan
perdana pada acara dan target penonton yang tepat.
Dengan
menerapkan strategi-strategi pemasaran di atas, film-film berbudget rendah bisa
mendapat perhatian dari banyak orang untuk menontonnya. Dengan banyak ditonton
orang pastinya film-film tersebut sebagai suatu produk bisa menghasilkan banyak
keuntungan bagi perusahaan yang membuatnya dalam hal ini yang dimaksud adalah
pihak studio yang membuat film-film tersebut.
Referensi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar