Kamis, 26 April 2012

Analisa Pemasaran Film Berbiaya Kecil


Analisa Pemasaran Film Berbiaya Kecil
By Heryanto, S.Pd
Pemasaran film berbiaya kecil sangat menarik untuk dianalisa karena ada beberapa starategi yang harus dilakukan supaya film berbiaya kecil atau bisa disebut juga film independent dapat menarik banyak penonton seperti pada umumnya terjadi pada film blockbuster yang berbiaya besar. Analisa ini berdasarkan dari artikel In Blockbuster Season, Smaller Movies Reel in Audiences With yang diambil dari sumbernya: http://www.marketingpower.com/ResourceLibrary/Documents/newsletters/mne/2010/5/mne_summer_movies_5_6_10.pdf

In Blockbuster Season, Smaller Movies Reel in Audiences With
Savvy Marketing

By Piet Levy, staff writer

Iron Man, Shrek and the A-Team all are starring in big-budget blockbusters this summer backed by supersized marketing campaigns, but there’s still room on theater marquees for documentaries, foreign flicks, and low-budget comedies and dramas, studio execs say. Those titles just require more creative, targeted and economical marketing strategies to entice moviegoers—with PR, word of mouth and niche events supplanting big media buys and lavish press junkets.

“It would seem the summer is a tough time to release a specialty film. In actuality, it’s a good time,” says Gary Rubin, president of First Independent Pictures, a Los Angeles-based specialty film distributor releasing Holy Rollers, a drama about a Hasidic Jew who becomes a drug smuggler, this summer. “The fare released by the major studios over the summer is aimed at such a young demographic or the films are so lightweight that adults are screaming for something reasonably intelligent to see.”

A movie’s release and distribution strategy is, of course, a key marketing decision.
Counterprogramming—or pitting a romantic comedy’s release against an action-packed
blockbuster, say, to try to draw different audiences—is a well-established technique for smallerbudget movie marketers. For example, IFC Films, a New York-based film distributor, is releasing the documentary Joan Rivers: A Piece of Work on June 11 as counterprogramming to action fare The A-Team and family flick/remake The Karate Kid, explains Ryan Werner, SVP of marketing and publicity for IFC Entertainment, IFC Films’ parent company.

Also, while big studios will spend millions to release movies nationwide and secure high grosses on opening weekend, specialty studios like Sony Pictures Classics (SPC) in New York typically release films in New York and Los Angeles and then roll them out into other markets over several weeks, aiming to build up buzz and profits along the way, explains Tom Bernard, co-president of SPC and co-leader of its marketing department. Smaller studios have to be smart about when they release their films to make sure they have a core audience more or less to themselves. For
instance, SPC is releasing the drama Mother and Child with Annette Bening on Mother’s Day weekend, weeks before Sex and the City 2 opens and steals away the same adult female demographic, Bernard explains.

Like big studios, specialty studios will be distributing posters, releasing trailers, buying newspaper ads, securing talent for interviews and attracting stars to attend their films’ premieres, execs tell Marketing News Exclusives. But small studios without the luxury of big advertising budgets have to more aggressively promote their films through events and PR. Amanda Lundberg, a partner who co-runs the movie marketing department in New York for entertainment PR firm 42West, says smaller studios often open up interview opportunities to alternative newspapers, magazines and websites—media outlets that bigger studios tend to skip over.

Smaller studios have to make sure that their marketing efforts are reaching those audiences who might be interested in their cinematic fare. IFC, for example, screened the Joan Rivers documentary at the Miami Gay and Lesbian Film Festival earlier this month to prompt word of mouth in that community, Werner explains. SPC has targeted fantasy and sci-fi movie sites like Ain’t It Cool News to promote Micmacs, a fantastical French film out this month. And for Holy Rollers, First Independent is contacting rabbis and entertainment directors at Jewish organizations to tell them about the movie, Rubin says.

Through such niche marketing efforts, smaller movie studios can make the most of their
comparably meager marketing budgets and earn a spot at multiplexes nationwide. “It’s about getting the films to the right publications, screening them at the right festival, creating word of mouth and hoping you will have a film that will deliver the good reviews,” Werner says.

Marketing News Exclusives                                                                                   May 6, 2010



Film berbiaya kecil mempunyai banyak kendala untuk dipertunjukkan di bioskop-bioskop. Salah satunya adalah tidak adanya biaya untuk menggandakan film tersebut untuk diedarkan ke bioskop-bioskop. Oleh karena itu, perlu adanya strategi pemasaran yang pintar untuk menyiasati bagaimana sebuah film berbiaya kecil dapat diterima oleh penonton.
Berbeda dengan film-film berbiaya besar seperti film Iron Man, Shrek dan the A-Team , film-film berbiaya kecil tidak mengandalkan aktor aktris yang popular, spesial efek, atau promosi besar-besaran karena tidak adanya biaya untuk melakukan hal-hal tersebut. Jadi film berbiaya kecil haruslah pintar untuk menyiasati bagaimana mendapatkan penonton yang banyak dengan strategi yang tidak mahal.
Dalam teks ini, akan dibahas bagaimana strategi film-film berbiaya kecil untuk dipasarkan. Dalam kasus ini akan dianalisa strategi pemasaran tiga film berbiaya kecil. Film-film tersebut adalah Holy Rollers, Joan Rivers: A Piece of Work, dan Mother and Child.
Analisa yang disampaikan berupa strategi yang sudah dilakukan oleh film-film tersebut dalam teks di atas dan juga strategi-strategi hasil analisa sendiri terhadap film-film yang bersangkutan.

1.    Holly Hunters
Menurut keterangan dari teks, film ini bergenre drama dan dipasarkan pada masa musim panas (summer). Hal ini disadari pihak marketing film bahwa film ini bertolak belakang dengan apa yang biasanya ada di film musim panas. Mengapa bertolak bertolak belakang? Karena film ini bergenre drama, lebih khususnya drama yang serius. Padahal biasanya musim panas dihadirkan film-film yang menghibur, yang berspesial efek, dalam teks diistilahkan film-film yang dikhususkan untuk para remaja yang bisa membuat mereka menjerit. Menjerit di sini bisa diartikan ungkapan kekaguman akan film-film itu.
Lalu apa hebatnya film berbiaya kecil ini sehingga berani melawan film-film berbiaya besar yang biasanya hadir pada pada musim panas? Salah satu jawabannya adalah karena film ini berbeda. Film Holy Hunters bisa menjadi tontonan alternatif bagi penonton yang bosan dengan film-film menghibur tipikal film musim panas. Dengan genre drama yang menitikkan cerita brilian diharapkan mampu menarik penonton daripada film-film blockbuster yang sering kali melewatkan akal logika.
Sebagai suatu produk, Holy Hunters sebenarnya sasarannya adalah sama dengan film dari studio besar di musim panas yaitu remaja. Itu bisa dilihat dari jalan ceritanya yang saya sadur dari Wikipedia yaitu bercerita tentang seorang remaja Yahudi yang taat kemudian terperosok menjadi seorang penjual obat-obatan terlarang akibat pengaruh teman-temannya. Dengan cerita seperti diharapkan mampu menarik perhatian remaja yang notabene sedang mencari jati diri. Tapi target film ini bisa juga untuk para orang tua, guru, ataupun siapa saja yang memperhatikan kehidupan remaja.
Ditambah lagi film ini dibintangi aktor yang kualitasnya tidak diragukan lagi, Jesse Eisenberg. Jesse Eisenberg merupakan actor muda berkaliber Oscar. Lihat saja filmnya yang fenomenal, Social Network, film drama serius yang memasukkan film ini untuk nominasi film Oscar terbaik tahun 2010 dan nominasi Aktor Terbaik bagi Jesse Eisenberg. Maka lebih luasnya selain remaja dan orang tua, film Holy Hunters akan menarik penonton dari kalangan peminat film berkualitas dari segi cerita dan aktor.
Membicarakan mengenai harga ataupun tempat, Holy Hunters sama seperti film-film lainnya yang bisa ditonton di bioskop-bioskop dengan harga tiket normal. Film ini bisa jadi sukses tayang di daerah Amerika Serikat dan Eropa, tapi tidak di Asia, termasuk Indonesia. Hal itu mengingat tema cerita utamanya tentang remaja Yahudi, sebuah tema yang tidak populer untuk ditonton di kalangan negara-negara Asia.
Promosi film ini cukup pintar dengan mendekati rabi-rabi (guru spiritual)  kalangan Yahudi untuk berkomentar positif tentang film ini. Diharapkan para penganut Yahudi akan menoton film ini berdasarkan rekomendasi rabi-rabi mereka.Tapi kesimpulannya yang menjadi promosi pintar film ini adalah seperti ditulis diatas adalah melepaskan film ini di musim panas yang berbeda dengan genre film-film kebanyakan lainnya yang diedarkan di waktu yang sama dan menempatkan Jesse Eisenberg sebagai aktor utamanya.

2.    Joan Rivers: Piece of A Work
Film Joan Rivers: Piece of A Work adalah film dokumenter tentang seorang komedian wanita Amerika bernama Joan Rivers. Lalu apa menariknya film ini untuk dipasarkan? Sebab film dokumenter jarang ada yang sukses besar. Film dokumenter bakal sukses apabila menyangkut masalah global dan dibuat cerdas seperti film Fahrenheit 9/11. Film dokumentar Fahrenheit 9/11 bisa sukses karena temanya yang luar biasa, tentang kebohongan Amerika Serikat berkaitan kasus fenomenal bom bunuh diri gedung WTC dan invasi ke Irak. Film ini didukung dengan “aktor aktris” yang luar biasa seperti president USA, George W Bush dan Britney Spears.
Kembali ke pertanyaan semula: “Apa menariknya film dokumenter tentang Joan Rivers?” Jawabannya adalah film dokumenter ini sungguh menghibur. Dokumenter tentang seorang komedian pastilah menampilkan sisi-sisi menghibur atau lucu dari seseorang itu sendiri. Dan film Joan Rivers bisa menampilkan hal itu. Bukankah hampir semua orang pergi ke bioskop untuk terhibur? Itu yang membuat film dokumenter ini bisa menjadi tontonan yang sukses.
Target film dokumenter Joan Rivers dipastikan adalah orang-orang Amerika atau bisa juga Eropa yang cukup umur dan menggemari Joan Rivers. Tidak menutup kemungkinan film ini ditujukan untuk siapa saja yang butuh hiburan. Sama dengan film Holy Hunters, film Joan Rivers menarik bagi orang-orang USA dan Eropa tapi bukan orang Asia karena orang-orang Asia tidak mengenal Joan Rivers.
Untuk promosi, menurut keterangan dari texts yang didapat, Joan Rivers ditontonkan pertama kali di Miami Gay and Lesbian Film Festival. Mengapa film ini ditampilkan pertama kali di sana? Apakah target utama film ini adalah orang-orang pecinta sejenis, gay dan lesbi? Untuk hal ini saya tertarik untuk mengetahui siapa itu Joan Rivers. Dari Wikipedia didapat keterangan Joan Rivers adalah seorang akris komedian yang sering memainkan peran sebagai lesbian dan sering membawakan lawakan tentang percintaan sejenis ketika ia tampil di panggung. Maka dari info ini, bisa jadi orang-orang gay dan lesbian jadi sasaran film dokumenter ini. Dapat disimpulkan bahwa film Joan Rivers dipasarkan untuk target pecinta sejenis di Amerika dan Eropa.

3.    Mother and Child
Film Mother and Child adalah film drama dan ceritanya bisa ditebak dari judulnya, hubungan ibu dengan anaknya. Lagi-lagi dari Wikipedia, saya memberikan sedikit gambaran cerita film ini. Cerita film ini adalah tentang seorang remaja perempuan yang melahirkan seorang anak di usia 14 tahun. Tentu saja remaja perempuan ini belum siap untuk mengurus anaknya tersebut. Cerita ini bergulir sampai perempuan ini dewasa dan tua. Dapat diterka target utama film ini adalah wanita-wanita yang mempunyai anak.
Pintarnya pemasaran film ini adalah film ini dipasarkan pada seminggu seputaran hari Ibu. Ini sungguh pintar karena pada hari Ibu, ibu-ibu merasa istimewa. Ibu-ibu yang merasa istimewa dapat menghibur diri mereka sendiri dengan menonton film ini. Dan lagi film ini cukup jeli dengan menayangkan film ini seminggu sebelum film Sex and City 2.
Dua film ini, Mother and Child dan Sex and City 2, sama-sama menargetkan wanita dewasa sebagai penontonnya. Langkah salah apabila Mother and Day ditayangkan sama dengan film Sex and City 2 karena kelihatannya film Sex and City 2 akan menang karena promosi yang besar-besaran. Dengan diedarkan seminggu sebelum Sex and City 2, film Mother and Child bisa ditonton sebagai pemanasan menunggu film Sex and City 2 yang gaungnya lebih terasa.

Baiklah setelah mendiskusikan satu persatu pemasaran ketiga film berbudget rendah tersebut, saya akan memberikan kesimpulan strategi-strategi pemasaran terhadap  film-film berbiaya rendah.
Strategi-strategi pemasaran terhadap film-film berbudget rendah adalah sebagai berikut:
1.    Lakukan hal-hal standar yang dilakukan studio besar seperti distribusikan poster, keluarkan trailer, iklankan di media cetak, wawancara para bintang film, dan pastikan bintang-bintang film tersebut hadir untuk acara tayangan perdana fim tersebut.
2.    Harus Lebih agresif untuk mempromosikan film-film tersebut dalam berbagai acara yang dihadiri banyak kalangan.
3.    Lakukan wawancara dengan media-media Koran, majalah, website ataupun lainnya yang sepertinya studio besar tidak melakukannya di sana.
4.    Pastikan film yang dihasilkan punya pecinta tema film itu tersendiri. Ini kan menghasilkan kesan yang positif sehingga orang-orang yang sudah menonton dapat merekomendasikan film tersebut kepada orang-orang sekitarnya.
5.    Tahu waktu yang tepat untuk menayangkan film-film tersebut.
6.    Tayangkan perdana pada acara dan target penonton yang tepat.

Dengan menerapkan strategi-strategi pemasaran di atas, film-film berbudget rendah bisa mendapat perhatian dari banyak orang untuk menontonnya. Dengan banyak ditonton orang pastinya film-film tersebut sebagai suatu produk bisa menghasilkan banyak keuntungan bagi perusahaan yang membuatnya dalam hal ini yang dimaksud adalah pihak studio yang membuat film-film tersebut.



 Referensi:

http://en.wikipedia.org/wiki/Joan_Rivers:_A_Piece_of_Work 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar